Posts Subscribe to (PUT YOUR BLOG NAME HERE)Comments

Sabtu, 26 Mei 2012

Membumikan
Spirit Kebebasan Beragama
 ”kebebasan berpikir, ijtihad kolektif, dan pembaruan
pemikiran Islam”
wacana
kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Artikel ini berharap dapat berkontribusi
dalam diskusi kebebasan beragama dan berkeyakinan
di Indonesia. Lebih jauh, diharapkan munculnya suatu
kesadaran kritis dari umat Islam agar tidak mudah
terkooptasi oleh penafsiran absolutis agama yang
mengabaikan kebebasan dan keberadaan masyarakat yang berbeda keyakinan.

Gus Dur mengembangkan pandangan anti eksklusivisme
agama. Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan
yang berkedok agama di beberapa tempat adalah
akibat adanya eksklusivisme agama (Komarudin Hidayat
dan Ahmad Gaus AF [ed], 1998: 52). Pandangan Gus
Dur ini lebih merupakan otokritik bagi umat Islam sendiri,
karena adanya politisasi agama dan pendangkalan
agama. Politisasi agama dan pendangkalan agama perlu
dibendung dengan sikap inklusif terhadap agamaagama.
Hal ini bertujuan agar nilai-nilai inklusivitas yang
tumbuh dalam suatu agama tidak terkontaminasi oleh
sindrom politik yang tendensius terhadap persoalan
agama-agama.
Demikian pula dengan pandangan Wahib yang sangat
lantang menyuarakan kebebasan beragama sebagai
bagian dari pluralisme agama. Di bagian awal bukunya,
Pergolakan Pemikiran Islam, Wahib mengungkapkan
kekecewaannya akan kondisi umat Islam saat itu, yang
menurutnya belum mampu menerjemahkan kebenaran
Islam dalam suatu program. Antara cita dan kenyataan
masih jauh jaraknya. Menurutnya, agama (Islam) telah
kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia, sehingga
menyebabkan terpisahnya agama dari masalah
dunia. Jadi tanpa disadari, umat Islam telah menganut
sekularisme, meskipun dengan lantang sering menentang
sekularisme (Ahmad Wahib, 1981: 37).
Padahal jaminan anti-diskriminasi atas dasar agama
dan kepercayaan jelas-jelas dimuat dalam konstitusi. Pasal
28 (e), ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 menyebutkan bahwa ”Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Pada ayat berikutnya disebutkan, ”Setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Hal itu ditegaskan pula dalam Undang Undang (UU)
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 22 menegaskan,
1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masingmasing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu; dan 2) negara menjamin kemer-
dekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu. Dalam Pasal 8 juga ditegaskan, ”Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Apa yang ditegaskan oleh konstitusi sesungguhnya
sudah sangat jelas bahwa setiap orang berhak memilih
dan menentukan agama mana yang dianggap sesuai
dengan hati nurani mereka masing-masing. Kita tidak
punya hak memaksakan kehendak apalagi dilakukan
dengan tindakan kekerasan. Mengikuti Wahib,
kebebasan adalah hak setiap orang. Jalan hidup seseorang
tidak bisa dipaksakan apalagi diatur sesuai kehendak
kita

Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan
Budha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis.
Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan
inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang memandang dan
menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa
menghubung-hubungkan dari kelompok mana aku termasuk
serta dari aliran mana saya berangkat



Categories



Widget by Scrapur

1 komentar:

Unknown mengatakan...

lanjutkan...

Posting Komentar

 
Dark Side Blogger Template Copyright 2009 - KALIMATA is proudly powered by Blogger.com Edited By Belajar SEO